Puisi - Panggil ia Afandi, Penantian Cintaku Sebelum Remaja

Panggil ia Afandi, Penantian Cintaku Sebelum Remaja



Deraian hujan awal Desember muda
Membawa embun pada pohon cemara
Tiupan angin membelai tak permisi
Mesra, melewati tengkuk lalu pergi
Aroma nostalgia kembali menyapa
Mengintip malu pada masa lalu
Ku lihat ia awal bersama putih biru
Tingginya tak jauh beda dari telingaku
            Jemari mungilnya ragu-ragu mendekatiku
            Terasa malu saat keempat mata bertemu
            Dinginnya pagi seolah tak mau peduli
            Deretan padi menguning menertawai
            Dia berbisik lirih mengucap janji
Lima tahun itu telah berlalu
Seperti senja yang perlahan datang
Mengusir mentari yang asik menari
Kini, tak lama lagi putih abu-abu kan dilepasnya
Tingginya jauh diatas kepalaku
Dagunya itu tinggiku
Bibirnya pun tetap sama
Senyumnya tak jauh beda
Hanya hatinya  kini tak ku tahu
Bagaimana kabar janji? Aku tak mengerti
            Dulu ia  pergi tanpa permisi
            Menyisakanku bersama harap tanpa pondasi
            Tanpa kejelasan menanti kejelasan
            Kepastian semu yang ku genggam dua tahun itu
            Terluka, dia bersama gadis barunya... Bella.
Akhir musim gugur ia kembali
Bersama daun terakhir yangg terjatuh
Lima tahun, waktu yang cukup untuk menanti
Menjadi dewasa dan saling mengerti
Mengalah untuk cinta
Berkorban untuk kesetiaan
            Panggil ia Afandi
            Yang pernah pernah pergi lalu kembali
            Yang pernah dinanti lalu menanti
            Yang berikan pundaknya walau aku tak minta
            Yang tetap memelukku walau sempat berpaling
            Ya, melukainya lebih dari ia menyakitiku
Lima tahun itu...
Bisakah aku kembali?
Memaafkan dan membuka hati?
Mempersilahkan dan mencinta lagi?
Memulai kembali..
Namun hati takkan mau peduli
Pada ego yang enggan pergi
            Ego yang tak akui “aku jatuh cinta”
            Ego yang tak pernah mau mengalah
            Ego yang tak mau disalahkan
            Ya, hatiku tetap untuk dia sejak saat itu
            Saat tangan mungilnya menggenggamku
            Saat janji diucapkan ketika kanak-kanak
            Sejak cinta sebelum remaja menyapaku
            13 tahun usiaku.


Karya : Risma Nurtrifani

Puisi - Penerbangan Terakhir




Penerbangan Terakhir




Senandung kematian mulai menggema
Disela-sela cahaya lilin yang mulai padam
Merintih pada rangkaian perih yang pedih
Detik jam dinding pun tak kuasa terhenti
Lihat ia, terbujur kaku dalam buaian asa
Terlelap dalam tidur abadi tanpa mimpi
Air mata tak lagi sanggup membawanya kembali
                        Lihat ia, suamiku
                        Tetap memikat walau jiwa tak lagi diraga
                        Bekas dekap terakhirnya masih bisa ku rasa
                        Penerbangan pukul 5 kala itu berakhir sendu
                        Tak lagi ada kecupan dikeningku
Aku benci menatap mega
Karna mega akan membawa kenanganku dengannya
Jangankan menatap badan pesawat itu
Untuk mendengar namanya aku tak kuasa
Biarlah,  kini aku benci pada langit
Birunya mengalirkan air mata yang kini masih tertahan
Biarlah saja, aku tak ingin terbang melewati batas kota lagi.


Karya : Risma Nurtrifani

Cerpen - Hujan Bersama Secangkir Kopi

Hujan Bersama Secangkir Kopi




Kau ingat, saat dimana kau menghampiriku saat derasnya hujan menerpa mu? Kau ingat, kau yang hanya menyodorkan payungmu dan berjalan disampingku?  Kau tak peduli walau bahu sebelahmu basah tertampu hujan. Ingatkah kau pada tempat itu? Di kedai kopi kedua kali kita bertemu. Kau di pojok menghadap jendela kaca tanpa jeda, hanya berdiam dan menikmati secangkir kopi tanpa gula mu.
“Ka..kamu kehujanan, baju mu basah” kau mendekatkan payung kuningmu padaku. “Aku akan mengantarkanmu sampai halte bis di depan”  kau pun memayungiku dan berjalan di sampingku tanpa bicara, hanya diam ditemani derasnya hujan, “Bahumu tertampu hujan, basah, sedikit mendekatlah, maaf aku jadi merepotkanmu” kataku, “Tidak, aku tidak apa-apa” jawabmu tanpa melihatku. Hening. “Kita sudah sampai, aku akan pergi” katamu sembari mengangkat payung kuningmu dariku, “Terima kasih” jawabku, “Tidak, jangan pernah berkata terima kasih” kau mengalihkan pandanganmu dariku, “Mengapa?” tanyaku heran, “Karena aku tidak menerima kata terima kasih” jawabmu, kau pun pergi dan aku tak dapat melihatmu dengan jelas karena terhalang kendaraan  berlalu-lalang, begitu pun aku kehilangan jejakmu.
            Tring.. ting. Suara bel di  atas pintu ketika aku masuk ke kedai kopi yang tak jauh dari perpustakaan kota, kedai kopi bergaya klasik dengan arsitektur serba kayu sungguh berbeda dengan nuansa Kota Pare yang serba sibuk, tepat sekali sebagai tempat melepas penat setelah seharian menyibukkan diri. “Permisi mas, mau pesan chocholate shake satu” kataku sambil menenteng tas dan buku-buku geografi super tebal milikku, setelah membayar minuman aku berjalan mencari nomor meja yang tepat, hanya tinggal satu kursi yang kosong, di dekat jendela, dan ada seseorang duduk didekatnya. Baiklah, tidak ada pilihan.
“Permisi, bolehkah aku duduk disini?” kataku sedikit membungkuk dan meletakkan buku-buku geografi tebal milikku di meja, “Ya, tentu saja, silahkan. Lho bukankah kamu yang  di halte bis itu?” kau menatapku tak percaya dan mempersilahkan aku untuk duduk. “Ya, maaf  sudah merepotkanmu seperti kemarin?” kataku jujur. “Tidak, tidak masalah, perkenalkan namaku Dhimas Langitharja tapi kamu bisa panggil aku Dhio” kau menjulurkan tanganmu padaku “Thania Eka Prastica, lebih sering di panggil Ica” aku menjabat tanganmu,  tak lama kemudian hujan turun, “Hujan..” katamu sembari menatap kaca transparan “Ya” jawabku. “Kamu suka hujan?” sedetik kemudian kau menatapku “Tentu saja” jawabku yang tak berpaling,  kau pun mengernyitkan keningmu heran “Mengapa?” aku menghela nafas “Karna hujan dapat membawaku bersama sejuta kenangan, baik yang inginku lupakan ataupun  yang ingin aku ingat” aku tersenyum memandang hujan, kau pun kemudian menatap ke arah kaca. Kita saling menikmati hujan.  Kau ingat itu kan?
Sore itu terasa melelahkan, buku-bukuku  yang teman-temanku pinjam belum ada yang dikembalikan,  padahal ujian akhir tinggal sebentar lagi, perpustakaan kota pun sudah  tutup. Bermodalkan laptop dengan daya batrai 10% aku pergi menuju kedai kopi yang dulu.
 “Untunglah, aku tepat waktu, jika tidak, mungkin aku kehujanan sekarang” begitu aku masuk dalam kedai kopi. Setelah memesan dan  membayar aku pun menuju meja ku, mencari stop kontak terdekat, menghubungkannya dengan laptop milikku, dan  mulai mencari buku-buku yang ku butuhkan.  “Ah, panas..” suara laki-laki yang mengagetkanku, kemudian aku tersadar bahwa aku tidak sendiri di meja itu “Ya ampun.. maaf, aku tidak tahu ada orang disebelahku” kataku, “Kau sibuk dengan laptopmu sehingga  tidak menyadari keberadaanku disini Ica” aku mendongakan kepalaku dan melihat bahwa ternyata pengunjung itu kamu, kau tersenyum teramat manis kali itu sampai aku tak sadar bahwa aku terlalu lama menatapmu “Ica, kau tak apa?” aku kaget lalu membenarkan posisi duduk ku, “Tidak, tidak apa. Sudah berapa lama kamu disini Dhio?” kau pun menatapku dan tersenyum “Sedari tadi, kamu pesan apa?” aku kemudian menatap layar laptopku “Seperti biasa, chocholate shake” kau membuka-buka buku geografi ku dan bertanya “Mengapa coklat?” aku dengan santai menjawab “Karena coklat itu manis..” dan hatiku menjawab “Seperti senyum mu tadi”. Aku kemudian berhenti mengetik “Mengapa kamu suka kopi tanpa gula?  Lalu mengapa  kamu dulu  tidak mengizinkanku mengucapkan terima kasih padamu?” kamu tetap membuka-buka buku milikku walau tak kau baca “Karena kopi itu pahit. Bagaimanapun kopi itu, dengan krimer, susu, karamel atau gula, yang namanya kopi ya kopi, karena rasa pahit itu adalah bagian dari kopi, bagaimana mungkin suatu kopi di katakan kopi bila tidak ada rasa pahitnya? Seperti itu juga hidup, dan aku tidak suka kata berterima kasih karna bagiku, sesuatu yang tulus tidak perlu mengucapkan terima kasih, meskipun itu adalah cinta”
Kau tau setelah peristiwa itu hidupku tak lagi sama, aku merasa gelisah padahal tak ada masalah, aku menjadi susah tidur padahal tak ada yang aku pikirkan. Semua kacau.
“Ica..” suara itu, aku menghentikan langkahku dan menghadap belakang  “Aku merindukan mu, kita sudah lama tidak bertemu” aku tersipu dan  tersenyum, kemudian kamu mendekatiku, menyibakkan rambutku di telinga dan membisikanku  “Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu, urgent” kamu kemudian mengerdipkan mata dan pergi, sungguh itu cukup membuatku gemetar.
 ‘Tingg’ buru-buru ku buka WA ku “Ica,  orang tua ku ingin bertemu denganmu, kita bertemu nanti malam, kamu dandan yang cantik ya,  aku jemput jam 8 malam, jangan telat , soalnya ada yang “penting” yang akan  aku dan orang tuaku katakan padamu”.  Aku tidak pernah menyangka akan secepat ini, Ya Tuhan, lancarkanlah hariku bersama Dhio.
Malam pun tiba, jas hitam  yang kau kenakan begitu serasi dan elegan, kau berjalan ke arahku sembari tersenyum “Kamu cantik sekali malam ini Ica, ayo orang tua ku sudah menunggumu” kau  menggandeng tanganku dan membukakan pintu mobil, setelah sampai ditempat itu, aku sungguh merasa gerogi “Aku nervous Dhio, kenapa harus secepat ini bertemu orang tua mu?” kemudian kau mengangkat kedua tanganku dan menggenggamnya “Kenapa? Kamu tidak suka? Bukankah lebih cepat itu lebih baik?” aku menghindari pandanganku darimu “Tidak, bukan seperti itu maksudku,  hanya saja, mengapa kamu melakukan semua ini  untukku?” aku menahan ekspresi bahagia ku, “Kamu tidak senang?” raut muka mu berubah “Bukan, aku senang kok, aku bahagia banget, tapi Dhio, katakan.  Aku ingin tahu” aku merasakan muka ku memerah, “Sudah jelaskan?” kau menjawab dengan mengerdipkan matamu seperti dulu, aku menatapmu  penuh haru dan bahagia “Karena aku temanmu, bahkan aku sudah menganggapmu seperti adik perempuanku sendiri” seperti badai, perasaanku pecah.. teman? Adik perempuan? Maksudnya? Ada apa ini? Ya Tuhan.“Akhirnya dia datang juga, perkenalkan dia Tresia, aku akan menikah dengan Tresia bulan depan, maaf baru memberitahu mu, ini kejutan he,he semoga kamu tidak marah. Ayo ke dalam, orang tua ku sudah menunggu”
Sebulan setelah itu, setelah resepsi itu dilangsungkan, hujan yang mempertemukan kita dulu datang kembali, kali ini ku biarkan tubuhku bermandikan tiraian hujan, aku tak peduli, hujan mengingatkan ku semua tentangmu, kali ini aku takkan lari untuk sembunyi, kedai kopi yang dulunya selalu ramai, bagiku kini sepi, kosong Dhio.  Aku duduk di meja pojok dekat jendela memandang hujan, cara ku mengenangmu, tempatmu, senyum mu, dan mata mu. Ya, aku tidak akan mengucapkan terima kasih padamu, karna kasihku tulus, cintaku tak mengharap balasan, aku bahagia kau sempat  ada dalam hidupku, sedikit waktu yang ku miliki bersama mu itu sudah lebih dari cukup. Seperti katamu, kopi tetaplah kopi, rasa pahitnya yang memuatnya menjadi kopi. Kini, hanyalah kopi tanpa gula temanku, aku tak lagi dekat dengan coklat, karena coklat adalah manis, dan manis mengingatkan ku pada senyum mu, padamu Dhio.

Karya : Risma Nurtrifani


Powered by Blogger.

Total Pageviews

Visitors

Flag Counter