Panggil ia Afandi, Penantian Cintaku Sebelum
Remaja
Deraian hujan awal Desember muda
Membawa embun pada pohon cemara
Tiupan angin membelai tak permisi
Mesra, melewati tengkuk lalu pergi
Aroma nostalgia kembali menyapa
Mengintip malu pada masa lalu
Ku lihat ia awal
bersama putih biru
Tingginya tak jauh
beda dari telingaku
Jemari
mungilnya ragu-ragu mendekatiku
Terasa
malu saat keempat mata bertemu
Dinginnya
pagi seolah tak mau peduli
Deretan
padi menguning menertawai
Dia
berbisik lirih mengucap janji
Lima tahun itu telah berlalu
Seperti senja yang perlahan datang
Mengusir mentari yang asik menari
Kini, tak lama lagi putih abu-abu kan dilepasnya
Tingginya jauh diatas kepalaku
Dagunya itu tinggiku
Bibirnya pun tetap sama
Senyumnya tak jauh beda
Hanya hatinya kini tak ku tahu
Bagaimana kabar janji? Aku tak mengerti
Dulu
ia pergi tanpa permisi
Menyisakanku
bersama harap tanpa pondasi
Tanpa
kejelasan menanti kejelasan
Kepastian
semu yang ku genggam dua tahun itu
Terluka,
dia bersama gadis barunya... Bella.
Akhir musim gugur ia kembali
Bersama daun terakhir yangg terjatuh
Lima tahun, waktu yang cukup untuk menanti
Menjadi dewasa dan saling mengerti
Mengalah untuk cinta
Berkorban untuk kesetiaan
Panggil
ia Afandi
Yang
pernah pernah pergi lalu kembali
Yang
pernah dinanti lalu menanti
Yang
berikan pundaknya walau aku tak minta
Yang
tetap memelukku walau sempat berpaling
Ya,
melukainya lebih dari ia menyakitiku
Lima tahun itu...
Bisakah aku kembali?
Memaafkan dan membuka hati?
Mempersilahkan dan mencinta lagi?
Memulai kembali..
Namun hati takkan mau peduli
Pada ego yang enggan pergi
Ego
yang tak akui “aku jatuh cinta”
Ego
yang tak pernah mau mengalah
Ego
yang tak mau disalahkan
Ya,
hatiku tetap untuk dia sejak saat itu
Saat
tangan mungilnya menggenggamku
Saat
janji diucapkan ketika kanak-kanak
Sejak
cinta sebelum remaja menyapaku
13
tahun usiaku.
0 comments:
Post a Comment