Hujan
Bersama Secangkir Kopi
Kau
ingat, saat dimana kau menghampiriku saat derasnya hujan menerpa mu? Kau ingat,
kau yang hanya menyodorkan payungmu dan berjalan disampingku? Kau tak peduli walau bahu sebelahmu basah
tertampu hujan. Ingatkah kau pada tempat itu? Di kedai kopi kedua kali kita
bertemu. Kau di pojok menghadap jendela kaca tanpa jeda, hanya berdiam dan
menikmati secangkir kopi tanpa gula mu.
“Ka..kamu
kehujanan, baju mu basah” kau mendekatkan payung kuningmu padaku. “Aku akan
mengantarkanmu sampai halte bis di depan”
kau pun memayungiku dan berjalan di sampingku tanpa bicara, hanya diam
ditemani derasnya hujan, “Bahumu tertampu hujan, basah, sedikit mendekatlah,
maaf aku jadi merepotkanmu” kataku, “Tidak, aku tidak apa-apa” jawabmu tanpa melihatku.
Hening. “Kita sudah sampai, aku akan pergi” katamu sembari mengangkat payung
kuningmu dariku, “Terima kasih” jawabku, “Tidak, jangan pernah berkata terima
kasih” kau mengalihkan pandanganmu dariku, “Mengapa?” tanyaku heran, “Karena
aku tidak menerima kata terima kasih” jawabmu, kau pun pergi dan aku tak dapat
melihatmu dengan jelas karena terhalang kendaraan berlalu-lalang, begitu pun aku kehilangan
jejakmu.
Tring.. ting. Suara bel di atas pintu ketika aku masuk ke kedai kopi
yang tak jauh dari perpustakaan kota, kedai kopi bergaya klasik dengan
arsitektur serba kayu sungguh berbeda dengan nuansa Kota Pare yang serba sibuk,
tepat sekali sebagai tempat melepas penat setelah seharian menyibukkan diri.
“Permisi mas, mau pesan chocholate shake satu” kataku sambil menenteng tas dan
buku-buku geografi super tebal milikku, setelah membayar minuman aku berjalan
mencari nomor meja yang tepat, hanya tinggal satu kursi yang kosong, di dekat
jendela, dan ada seseorang duduk didekatnya. Baiklah, tidak ada pilihan.
“Permisi, bolehkah aku duduk disini?”
kataku sedikit membungkuk dan meletakkan buku-buku geografi tebal milikku di
meja, “Ya, tentu saja, silahkan. Lho bukankah kamu yang di halte bis itu?” kau menatapku tak percaya
dan mempersilahkan aku untuk duduk. “Ya, maaf
sudah merepotkanmu seperti kemarin?” kataku jujur. “Tidak, tidak
masalah, perkenalkan namaku Dhimas Langitharja tapi kamu bisa panggil aku Dhio”
kau menjulurkan tanganmu padaku “Thania Eka Prastica, lebih sering di panggil
Ica” aku menjabat tanganmu, tak lama
kemudian hujan turun, “Hujan..” katamu sembari menatap kaca transparan “Ya”
jawabku. “Kamu suka hujan?” sedetik kemudian kau menatapku “Tentu saja” jawabku
yang tak berpaling, kau pun
mengernyitkan keningmu heran “Mengapa?” aku menghela nafas “Karna hujan dapat
membawaku bersama sejuta kenangan, baik yang inginku lupakan ataupun yang ingin aku ingat” aku tersenyum memandang
hujan, kau pun kemudian menatap ke arah kaca. Kita saling menikmati hujan. Kau ingat itu kan?
Sore itu terasa melelahkan,
buku-bukuku yang teman-temanku pinjam
belum ada yang dikembalikan, padahal
ujian akhir tinggal sebentar lagi, perpustakaan kota pun sudah tutup. Bermodalkan laptop dengan daya batrai
10% aku pergi menuju kedai kopi yang dulu.
“Untunglah, aku tepat waktu, jika tidak,
mungkin aku kehujanan sekarang” begitu aku masuk dalam kedai kopi. Setelah
memesan dan membayar aku pun menuju meja
ku, mencari stop kontak terdekat, menghubungkannya dengan laptop milikku, dan mulai mencari buku-buku yang ku butuhkan. “Ah, panas..” suara laki-laki yang
mengagetkanku, kemudian aku tersadar bahwa aku tidak sendiri di meja itu “Ya
ampun.. maaf, aku tidak tahu ada orang disebelahku” kataku, “Kau sibuk dengan
laptopmu sehingga tidak menyadari
keberadaanku disini Ica” aku mendongakan kepalaku dan melihat bahwa ternyata
pengunjung itu kamu, kau tersenyum teramat manis kali itu sampai aku tak sadar
bahwa aku terlalu lama menatapmu “Ica, kau tak apa?” aku kaget lalu membenarkan
posisi duduk ku, “Tidak, tidak apa. Sudah berapa lama kamu disini Dhio?” kau
pun menatapku dan tersenyum “Sedari tadi, kamu pesan apa?” aku kemudian menatap
layar laptopku “Seperti biasa, chocholate shake” kau membuka-buka buku geografi
ku dan bertanya “Mengapa coklat?” aku dengan santai menjawab “Karena coklat itu
manis..” dan hatiku menjawab “Seperti senyum mu tadi”. Aku kemudian berhenti
mengetik “Mengapa kamu suka kopi tanpa gula?
Lalu mengapa kamu dulu tidak mengizinkanku mengucapkan terima kasih
padamu?” kamu tetap membuka-buka buku milikku walau tak kau baca “Karena kopi
itu pahit. Bagaimanapun kopi itu, dengan krimer, susu, karamel atau gula, yang
namanya kopi ya kopi, karena rasa pahit itu adalah bagian dari kopi, bagaimana
mungkin suatu kopi di katakan kopi bila tidak ada rasa pahitnya? Seperti itu
juga hidup, dan aku tidak suka kata berterima kasih karna bagiku, sesuatu yang
tulus tidak perlu mengucapkan terima kasih, meskipun itu adalah cinta”
Kau tau setelah peristiwa itu hidupku
tak lagi sama, aku merasa gelisah padahal tak ada masalah, aku menjadi susah
tidur padahal tak ada yang aku pikirkan. Semua kacau.
“Ica..” suara itu, aku menghentikan
langkahku dan menghadap belakang “Aku
merindukan mu, kita sudah lama tidak bertemu” aku tersipu dan tersenyum, kemudian kamu mendekatiku, menyibakkan
rambutku di telinga dan membisikanku
“Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu, urgent” kamu kemudian
mengerdipkan mata dan pergi, sungguh itu cukup membuatku gemetar.
‘Tingg’ buru-buru ku buka WA ku “Ica, orang tua ku ingin bertemu denganmu, kita bertemu
nanti malam, kamu dandan yang cantik ya,
aku jemput jam 8 malam, jangan telat , soalnya ada yang “penting” yang
akan aku dan orang tuaku katakan
padamu”. Aku tidak pernah menyangka akan
secepat ini, Ya Tuhan, lancarkanlah hariku bersama Dhio.
Malam pun tiba, jas hitam yang kau kenakan begitu serasi dan elegan,
kau berjalan ke arahku sembari tersenyum “Kamu cantik sekali malam ini Ica, ayo
orang tua ku sudah menunggumu” kau
menggandeng tanganku dan membukakan pintu mobil, setelah sampai ditempat
itu, aku sungguh merasa gerogi “Aku nervous Dhio, kenapa harus secepat ini
bertemu orang tua mu?” kemudian kau mengangkat kedua tanganku dan
menggenggamnya “Kenapa? Kamu tidak suka? Bukankah lebih cepat itu lebih baik?”
aku menghindari pandanganku darimu “Tidak, bukan seperti itu maksudku, hanya saja, mengapa kamu melakukan semua
ini untukku?” aku menahan ekspresi
bahagia ku, “Kamu tidak senang?” raut muka mu berubah “Bukan, aku senang kok,
aku bahagia banget, tapi Dhio, katakan.
Aku ingin tahu” aku merasakan muka ku memerah, “Sudah jelaskan?” kau
menjawab dengan mengerdipkan matamu seperti dulu, aku menatapmu penuh haru dan bahagia “Karena aku temanmu,
bahkan aku sudah menganggapmu seperti adik perempuanku sendiri” seperti badai,
perasaanku pecah.. teman? Adik perempuan? Maksudnya? Ada apa ini? Ya
Tuhan.“Akhirnya dia datang juga, perkenalkan dia Tresia, aku akan menikah
dengan Tresia bulan depan, maaf baru memberitahu mu, ini kejutan he,he semoga
kamu tidak marah. Ayo ke dalam, orang tua ku sudah menunggu”
Sebulan setelah itu, setelah resepsi itu
dilangsungkan, hujan yang mempertemukan kita dulu datang kembali, kali ini ku
biarkan tubuhku bermandikan tiraian hujan, aku tak peduli, hujan mengingatkan
ku semua tentangmu, kali ini aku takkan lari untuk sembunyi, kedai kopi yang
dulunya selalu ramai, bagiku kini sepi, kosong Dhio. Aku duduk di meja pojok dekat jendela
memandang hujan, cara ku mengenangmu, tempatmu, senyum mu, dan mata mu. Ya, aku
tidak akan mengucapkan terima kasih padamu, karna kasihku tulus, cintaku tak
mengharap balasan, aku bahagia kau sempat
ada dalam hidupku, sedikit waktu yang ku miliki bersama mu itu sudah
lebih dari cukup. Seperti katamu, kopi tetaplah kopi, rasa pahitnya yang
memuatnya menjadi kopi. Kini, hanyalah kopi tanpa gula temanku, aku tak lagi
dekat dengan coklat, karena coklat adalah manis, dan manis mengingatkan ku pada
senyum mu, padamu Dhio.
Karya
: Risma Nurtrifani
0 comments:
Post a Comment