Cerpen - Dimana Malaikat Itu

Dimana Malaikat Itu




Pagi yang dingin, bersama daun yang bergoyang lirih, embun yang hinggap pada kuncup-kuncup bunga mulai perlahan jatuh ke tanah.. sepi, teramat hambar terasa..
                “Ren, coba sini sebentar.. anak gadis kok pagi-pagi melamun di dekat pintu.. ayo, bantuin ibu memetik teh di kebun” suara ibu menghentikan lamunanku, aku pun beranjak dari duduk ku dan berjalan bersama ibuku, melewati jalanan yang di kiri terdapat tebing-tebing, dan kanan jalan terdapat jurang, indah memang, aku bisa melihat sejuknya pagi hari, gunung-gunung dan bukit-bukit yang masih tertutup embun.. melewati pematang, banyak orang-orang seusia ibuku yang juga sedang memetik teh, tidak seperti banyak orang, ibuku memetik teh bukan untuk dikumpulkan pada pengempul melainkan untuk diproduksi dan dijual sendiri.
                Sampailah aku dan ibuku di kebun peninggalan alm. Ayah.. memang kecil, hanya beberapa petak, namun karena kebun inilah keluargaku bisa bertahan hidup. Setelah banyak teh yang sudah aku dan ibuku kumpulkan, dari kejauhan aku melihat seorang gadis kecil berlari dengan senyuman dan tangan yang melambai, rambutnya hitam panjang sepinggang, berkulit putih, bibir merah yang mungil, lesung pipi di pipi kirinya, berhias tahi lalat di dekat bibirnya, memakai rok sedikit di bawah lutut dan kaos panjang berwarna coklat, ia semakin dekat.. kini ia tepat berdiri di hadapanku “kakak, kakak jahat ninggalin aku dirumah sendirian” ia memasang wajah cemberut, aku pun tersenyum dan mencubit pipi kanannya “siapa suruh jam setengah 6 masih tidur?” ia pun memeluk ku, dia adikku, namanya Dinda, aku dan dia berjarak cukup lama, aku yang kini menginjak 17th dan adikku masih berusia 10th, Dinda tak pernah lepas dari dekapku, ia selalu ikut kemana pun aku pergi, hanya kali ini aku meninggalkannya dirumah, aku ingin membangunkannya namun ia terlihat sangat pulas tertidur, aku tidak tega membangunkannya, jadilah aku pergi bersama ibuku.
                Malam itu sudah lewat pukul 9 malam, diluar hujan angin, sungguh deras sampai-sampai beberapa genteng rumah jatuh, suara gemuruh begitu menggelegar, Dinda begitu erat mendekapku, ia ketakutan, ya, aku tidur sekamar dengan Dinda, ia begitu manja kepadaku bahkan tak pernah manja pada ibu, semua itu tidak menggangguku, justru aku senang dengan tingkah polanya kepadaku. “sebentar ya Din, kakak mau keluar sebentar, sepertinya beberapa genteng rumah kita pada jatuh lagi” aku mengelus rambut Dinda, “jangan kak, Dinda takut” ia menggelengkan kepala dan semakin erat menggenggam pergelangan tanganku “hanya sebentar, kasihan kan ibu jika harus memperbaiki sendiri?” ia mengangguk dan melepaskan tanganku, aku pun beranjak dari tempat tidurku dan pergi ke teras rumah menuju ibuku “bu, genteng-genteng kita jatuh lagi?” suaraku yang keras bersaing dengan kerasnya suara hujan “ya, Ren..” ibuku membenarkan posisi genteng teras rumah, aku pun mendekat pada tangga yang terbuat dari bambu, aku dengan erat memegangi “bu, biar Reni saja yang ke atas, ibu turun saja” ibu pun menjawab “tidak usah Ren, biar ibu” aku pun semakin lantang “sudahlah bu, biar Reni” ibu pun turun dan aku naik ke atas, ibu memegangi tangga bambu agar aku tidak jatuh, setelah selesai aku dan ibu masuk rumah “kamu ganti baju dulu Ren, kamu basah seperti itu, ibu juga mau ganti baju” aku pun menjawab “ya, bu” selesai ganti baju ternyata hujan tidak begitu deras, aku memasuki kamar dan melihat Dinda tertidur pulas, wajahnya begitu polos dan lugu, aku menyelimutinya dengan kain jarit milikku, aku pun mendekap Dinda yang kedinginan dan sampai akhirnya akupun tertidur.
                Esoknya suara ayam jago membangunkanku, aku pun lekas membangunkan Dinda dengan memainkan telinganya sampai ia merasa geli dan terbangun, akupun bersama Dinda membersihkan kamar tidur dan melipat selimut sambil bercanda, kemudian ada seseorang mengetuk pintu..
                Dok.. dokk.. dokk.. “Assalamu’allaikum..” suara di luar, Dinda menatapku “siapa kak? Pagi-pagi gini kok ada yang namu?” aku mengibaskan selimut menjawab “ngga tau dek” dinda kemudian meletakkan lipatan di dalam lemari “biar Dinda saja yang lihat ke depan” kemudian Dinda menuju depan, selesai membersihkan kamar aku pun menyusul Dinda  “ada apa dek?” dinda kemudian menatapku dan tersenyum memegangi sebuah surat di tangannya.
                Dinda berlari menuju ibu yang sedang memetik teh di kebun, rambutnya mengibas ke kiri dan ke kanan, aku yang sedikit berlari tersenyum memandang Dinda yang berada jauh di depanku “Dinda.. hati-hati, nanti kamu jatuh ke parit” ia tak menghiraukan teriakan ku, aku hanya geleng-geleng menatapnya.
                “ibu, kakak.. ibu..” dinda memegangi tangan ibu “ada apa Din? Kamu kok ngos-ngos an gitu?” ibu heran melihat Dinda yang kelelahan karena berlari tadi, akupun tak lama kemudian sampai di belakang Dinda “ada apa ini Ren? Coba jelasin sama ibu.. kenapa kalian senyum-senyum gitu?” aku dan Dinda saling menatap kemudian Dinda mengatakan “Kakak dapat beasiswa ngelanjutin sekolah ke Philadelpia” ibu menjatuhkan keranjang teh dan semua orang yang hadir di perkebunan itu menghentikan kegiatan mereka dan menatapku tak percaya, jangankan mereka.. aku pun juga tak percaya.
                Saat dirumah ibu duduk didepanku dan Dinda disampingku.
“Ren, Philadelpia itu mana?” ibu menatapku, “Jauh dari Indonesia bu” aku tak berani menatap ibu, “kapan kamu ambil ujian itu?” tanganku begitu dingin “tiga minggu yang lalu bu, aku sebenarnya tak pernah menyangka akan bisa lolos ujian itu bu” Dinda semakin erat menggenggamku “kamu ambil apa?” aku merasa jantungku berdetak hebat “Hubungan Internasional bu” ibu kemudian menghela nafas kemudian ibu beranjak dari tempat duduknya dan pergi, ku rasa ibu marah atas keputusanku yang tak ku tanyakan dulu pada ibu, aku tetap tak berani menatap kemana ibu pergi, kemudian ibu datang dan duduk lagi di depanku dengan membawa tiga buah celengan “ini untukmu Ren, ibu dan alm ayah mu sudah menabung sedari dulu, mungkin uangnya tak seberapa tapi ini bisa untuk uang saku mu nanti disana, maafkan ibu Ren, ibu tidak bisa memberikan uang yang lebih banyak lagi” aku mendongakan kepala ku dan aku melihat butir-butir air bening mengalir dari mata ibu, aku merasakan mataku memerah, buru-buru ku peluk ibu “ibu, Reni tak butuh semua itu, disana sudah tersedia bu, disana Reni akan tercukupi, Reni gratis sekolah disana bu, semua kebutuhan Reni ditanggung si pemberi beasiswa itu bu” tangan ibu memeluk punggungku begitu erat “tetap saja Ren, mana mungkin ibu tega membiarkanmu sendirian, terimalah uang ini Ren jika memang kau menyayangi ibu” aku pun melepaskan pelukan ibu “Reni tidak akan mengambil beasiswa itu bu, Reni  tidak akan kemana-mana, Reni akan tetap disini dan tidak akan meninggalkan kalian berdua” dinda kemudian menatapku dengan penuh amarah “apa maksud kakak tidak akan mengambil beasiswa itu? Kesempatan ini tak akan datang kedua kali. Kak, jika alasan kakak tidak mengambil beasiswa itu karena tidak ingin meninggalkan aku dan ibu, kakak salah besar. Kakak harapan kami, gapai cita-cita kakak, toh juga ada jalan menuju kesana. kak.. demi ayah yang uda ngga ada, demi ibu, demi aku kak” Dinda mengubah raut wajahnya yang semula marah menjadi sedih dan berlari menuju kamar, meninggalkanku bersama ibu, kemudian ibu menganggukkan kepalanya, aku pun menyusul Dinda, ku lihat ia sedang berbaring memunggungiku sambil menangis “Dinda marah ya sama kak Reni?” tanyaku, Dinda hanya diam tak menjawab “maafin kakak ya dek, demi Dinda, kakak akan ambil beasiswa itu, Dinda jangan marah lagi ya” Dinda kemudian menghadapku dan memelukku erat dengan tersenyum
Seminggu kemudian aku berangkat ke Philadelpia, aku masih ingat terakhir kali ibu dan Dinda melambaikan tangan padaku sewaktu mengantarkanku ke terminal bis, letaknya di Kota, mungkin ibu dan Dinda akan pulang naik andong seperti saat berangkat. Diatas pesawat tak bisa sedikitpun aku tak memikirkan ibu dan Dinda, bagaimana mereka, sudah sampaikah, atau mereka sudah makankah, ketika mulai petang semua penumpang pesawat sudah terlelap namun aku tidak. Tak bisa tidur walaupun aku telah berkali-kali mencoba.
Awal-awal di suatu negara lain memanglah sulit, ini bukanlah desa atau kota yang berbeda, ini negara yang berbeda jauh dari Indonesia, sangat jauh.. budaya, adat, perilaku, cara makan, pola hidup, sungguh jauh berbeda dan aku harus bisa beradaptasi, ini bukanlah jarak yang dekat, aku tak bisa sering mengirim surat untuk keluargaku..
Tahun lalu bertemu dengan seseorang yang mengikat hatiku, dia baik, tinggi, berkulit putih dan berambut pirang, aku berbeda jurusan dengannya, namun kami bertemu ketika acara bakti sosial di suatu daerah yang membutuhkan. Ia memeluk islam, aku pun mengirim surat pada Ibu dan ibu pun setuju jika memang itu pilihanku dan tepat untukku, aku sungguh berharap Ibu dan Dinda datang menghadiri pernikahanku disini namun ibu dan Dinda tak bisa, perkebunan tak bisa ditinggal, siapa yang akan mengurus kebun teh kalau bukan ibu dan Dinda, dengan terpaksa aku pun melangsungkan pernikahanku disini tanpa ibu dan Dinda.
Tak terasa sudah 8 tahun aku meninggalkan tanah pertiwi dan tinggal di Philadelpia, kini usiaku 25 tahun, aku sudah mengukir masa depanku, benar kata Dinda, tak ada cita-cita yang terlalu tinggi. Kini saatnya aku kembali ke Indonesia, ke tempatku, ke tempat yang selalu ku rindu, rumahku.. ibu, terutama Dinda adik perempuanku. Tak henti-henti disetiap waktu aku membayangkan bagaimana adik perempuanku sekarang, pasti ia sangatlah cantik jelita, lebih cantik dari semasa ia masih kecil, besok adalah ulang tahun Dinda yang ke 18 tahun, aku sengaja tak mengiriminya surat, aku akan membuat kejutan untuk Dinda.
“assalamu’alaikum bu” aku dan suamiku memasuki rumahku, rumahku yang penuh memori dan kehangatan walaupun tak ada yang berubah,masih rumah kecil yang dulu, dengan genteng yang apabila terkena hujan bisa jatuh sewaktu-waktu, ku lihat ibu keluar dari dalam kamar, ibu yang dulunya kuat kini telah keriput, kulitnya tak sehalus dulu, matanya tak  sejernih dulu, rambut hitamnya kini telah memutih, tak kuasa membendung air mata, aku berlari ke arah ibu, ku peluk ia, ibu menangis tersedu-sedu melihatku, aku telah berubah, jauh berbeda dari dulu, dulu yang aku pergi sendiri kini datang dengan pendamping apalagi saat ku katakan pada ibu aku tengah hamil muda, baru 2 bulan, ibu sungguhlah bangga padaku dan senang mendengar kabar bahagia itu, ibu senang aku bisa menggapai cita-citaku dan mendapat pendamping yang tepat.
Tak lama pun aku mulai bertanya pada ibu “oh ya bu, bagaimana Dinda sekarang? Pasti ia tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik sekarang, aku selalu memikirkan dia bu, apa dia masih manja bu? Dulu kan dia selalu ikut kemana pun aku pergi” ibu pun tersenyum “ya, kau benar Ren, adikmu tumbuh menjadi gadis yang cantik, amat cantik malah, dia tak pernah manja lagi saat kau pergi, mungkin saat awal-awal ia selalu menangis di setiap malam, namun setelah itu tidak lagi, ia tumbuh menjadi gadis ceria dan tidak pendiam sepertimu” aku pun tertawa, ibu meneruskan “adikmu itu sangat cantik Ren, sangat” aku merasa bahagia mendengar cerita ibu, sungguh aku ingin melihat Dinda “bu, Dinda sekarang 18 tahun kan? Aku ingin memberikan kejutan pada Dinda bu, itulah sebabnya aku tidak memberi kabar kepada ibu bahwa aku akan datang, dimana Dinda bu?” aku sungguh tidak sabar.
Ibu pun mengajak ku dan suami ku pergi, melewati pematang, kebun, dan sampailah di bukit, ya.. aku merindukan tempat ini, aku telah lama tidak ke pusara ayah, selesai berdoa aku pun berdiri “ayo bu menemui Dinda” aku tersenyum namun ibu menjawab “kita sudah sampai” aku pun bingung “Dinda disini? Dimana dia bu? Jangan-jangan dia mau main petak umpat seperti dulu, awas ya Din..” aku mulai menatap ke kanan dan ke kiri namun ibu malah menangis “Dinda disini, disamping pusara ayahmu” aku berhenti tersenyum, ku tatap pusara di samping pusara ayah.. “Dinda.. tidak mungkin, bagaimana bisa?” aku mulai menangis hebat, tak terhentikan, aku jatuh terkulai diatas pusara Dinda..
“Dinda sangat cantik, ia tumbuh jadi gadis tercantik di desa ini, banyak pria yang menyukai Dinda, tak jarang malah menggoda Dinda, terkadang terlalu cantik malah membawa petaka, kejadian itu terjadi 3 bulan lalu, ketika hari mulai senja, biasanya Dinda akan pulang dari menjual teh-teh, namun kali itu tidak, Dinda tak pulang, diluar hujan deras, ibu menunggu dengan resah, ibu sudah keluar namun tak menemukannya, 2 hari kemudian, ada pencari rumput melihat Dinda, ia jatuh ke jurang, bajunya robek, Dinda sudah tiada, sebelum meninggal ternyata ada sekelompok pemuda  yang melihat Dinda, mereka terpikat oleh kecantikannya dan mereka melecehkan Dinda, demi menutupi perilaku buruknya, ia melenyapkan Dinda” ibu bercerita dengan terisak-isak “dan membuangnya ke jurang, namun siapa pelakunya tak pernah bisa ditemukan”
Hatiku hancur, bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi, Dindaku.. adik perempuanku.. malaikatku.. tubuhku lemas, tetap memeluk nisan adik perempuanku, aku terjatuh tak sanggup berdiri, “maafkan kakak, seharusnya memang kakak tidak pergi, harusnya kakak tetap disini menjagamu, menemanimu, pasti semua ini tidak akan pernah terjadi padamu, maafkan kakak Dinda..”

Karya : Risma Nurtrifani

                                      

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Total Pageviews

Visitors

Flag Counter